a-ads

Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Senin, 17 April 2017

[Cerpen] Perihal Pilihan dan Bagian

[Cerpen] Perihal Pilihan dan Bagian

[Cerpen] Perihal Pilihan dan Bagian - Perempuan itu terlihat ragu turun dari mobil, seolah sedang menimbang sesuatu. Dilepaskannya sabuk pengaman, menghela nafas, bersiap keluar. Tangannya berhenti membuka pintu mobil, dia mencari sesuatu di tasnya, cermin kecil dan lipstik. Sambil sesekali memanyunkan bibir, dia mengoleskan lipstik berwarna merah darah, menatap cermin beberapa menit. Setelah memastikan bibirnya terolesi lipstik dengan rata, perempuan itu turun, masih dengan keraguan.

Dia berjalan memasuki kafe membawa sebuah kotak yang dibalut dengan kertas kado berwarna abu-abu. Seorang pegawai kafe yang tampaknya sudah sangat akrab dengannya, mengantar dia ke salah satu sudut kafe, meja nomor 23. Perempuan itu tersenyum, meletakkan kotak di meja, menatap bangku di depannya yang masih kosong. Pegawai kafe lantas meninggalkannya tanpa menawarkan menu, dia sudah tahu bahwa perempuan itu tidak akan langsung memesan. Ya, meskipun hanya setahun sekali perempuan itu datang ke kafe tempatnya duduk sekarang, tapi sudah sepuluh tahun dia melakukannya.

Satu jam berlalu, perempuan itu belum memesan apapun, sejak tadi dia hanya memandangi jam di lengannya, mengelus kotak kado, menatap kursi di depannya yang masih saja kosong. Tidak ada raut wajah kesal, padahal yang ditunggunya belum juga datang. Perempuan itu tetap tersenyum setiap menatap kado dan kursi di depannya.

Semakin malam, pengunjung semakin banyak berdatangan. Di luar, gerimis terdengar seperti melodi penantian yang panjang. Perempuan itu menerawang ke luar jendela, dia melihat sepasang kekasih sedang berlari menuju kafe, si lelaki membentangkan jaketnya di atas kepala si gadis, mereka saling tatap, tertawa kecil. Perempuan itu lantas ikut tersenyum, dulu dia juga pernah seperti mereka, saat pertama datang ke kafe bersama seorang pria yang saat ini sedang dinantikannya.

Sepasang kekasih masuk ke kafe, menempati meja nomer 26. Setelah menatap mereka beberapa detik, perempuan itu kembali melemparkan pandangannya ke luar, menikmati gerimis yang memanjang. Ingatannya membawa dia ke beberapa tahun silam, tentang sebuah pertemuan di tengah gerimis.

“Kenapa berlari?” tanya seorang pria di sampingnya yang berusaha mengimbangi langkah perempuan itu.

“Gerimis.” Jawabnya singkat sambil menutupi kepalanya dengan kedua telapak tangan.

“Iya, aku tahu gerimis. Ada apa dengan gerimis memangnya?”

“Takut sakit. Kalau hujan-hujanan sekalian malah nggak bikin sakit.” ucap perempuan itu, matanya menatap ke halte bus yang masih sepuluh meter lagi.

“Oh ya?”

Perempuan itu mengangguk. Si pria kemudian berlari, memposisikan dirinya di depan perempuan itu, berlari mundur sambil menjulurkan lidah. Perempuan itu memperlambat langkahnya, “Kamu sedang apa?”

“Minum gerimis.”

“Kamu haus? Ini aku ada air mineral di tas.”

Si pria tertawa kecil, “Aku nggak haus. Sengaja meminumnya, biar nggak sakit.”

“Oh ya? Kata siapa?”

“Kataku barusan.”

Perlahan perempuan itu membuka mulut, menjulurkan lidahnya, menangkap gerimis, meminumnya. Mereka berdua kemudian tertawa bersama.

Perempuan itu menghela nafas, tersenyum-senyum mengingat kenangan semasa SMA. gerimis di luar telah menjelma hujan, beberapa pengunjung mengurungkan niatnya untuk beranjak. Diliriknya jam di pergelagan tangannya, “Sebentar lagi.” Gumamnya.

Perempuan itu menganggkat tangan, memanggil pegawai kafe. Si pegawai kafe datang dengan membawa kue tart coklat yang berlilin angka 27.

“Terimakasih” ucapnya kepada pegawai kafe.

Dengan terburu-buru, dia menyalakan lilin, memejamkan matanya, “Selamat ulang tahun yang kedua puluh tujuh, Panji.” Ucapnya lirih. Kemudian dia merapalkan doa dan harapan untuk pria bernama Panji yang entah saat ini sedang berada di belahan bumi mana. Perempuan itu tidak tahu, perpisahan mereka sudah lama. Tapi rasa untuknya masih ada, pun entah seberapa. Perlahan perempuan itu membuka matanya yang sedikit basah oleh air mata. Seorang pria sudah duduk di depannya, menempati kursi yang sejak tadi kosong.

Perempuan itu tersenyum, “Selamat ulang tahun, sayang.” Ucapnya kemudian menyodorkan kado.

“Terimakasih, sayang. Maaf aku sedikit terlambat. Ada sesuatu yang tadi hampir tertinggal di kantor.”

“Iya nggak apa-apa. Memangnya apa yang hampir tertinggal?”

Pria itu merogoh saku, “Hadiah untuk hari pernikahan kita. happy anniversary, Almira.” Ucapnya sambil membuka kotak perhiasan berisi sebuah kalung emas berinisial A. Pria itu bangkit, memakaikan kalung di leher Almira.

Almira hampir lupa kalau hari itu juga bertepatan dengan hari peringatan pernikahan mereka. Dua tahun yang lalu, dia memutuskan untuk menikah dengan lelaki yang saat ini sedang memakaikan kalung. Lelaki yang mempunyai tanggal lahir sama dengan Panji. Almira telah memilih Panji, tapi Rakha adalah bagiannya.

“Bagaimana, apa kamu suka kalungnya?”

Almira tersenyum, memegangi kalung, “Suka, suka banget. Maaf ya, sayang. Aku nggak bawa hadiah untuk hari pernikahan kita. aku Cuma bawa hadiah ulang tahun buat kamu.”
Rakha tersenyum, berjongkok di dekat Almira, kemudian memegang tangannya, “Nggak apa-apa, sayang.”

“Kamu lagi mau apa? Jam tangan baru mungkin.”

Rakha menggeleng, kembali tersenyum, masih memegang tangan istrinya, “Aku mau seorang malaikat kecil.” Ucapnya sambil menatap mata Almira penuh harap.

Almira menunduk, kemudian melemparkan pandangan ke luar, hujan mulai reda.

“Tapi kalau kamu masih belum siap, nggak apa-apa. Aku negrti kok.”

Lengang. Mereka saling diam.

“Aku siap.” Ucap Almira kemudian.

Senyum merekah di bibir Arkha, dia bangkit, memeluk Almira, membelai rambutnya.

“Terima kasih, sayang.”

Malam itu, Almira belajar untuk menerima bagiannya dan merelakan pilihannya. Hujan di luar telah reda. Beberapa pengunjung mulai meninggalkan kafe. Begitu juga dengan Almira dan Rakha. Sebelum pergi, Almira menatap lilin yang masih tertancap di kue tart yang tinggal separuh. Tahun depan, dia memutuskan hanya akan mengucapkan selamat ulang tahun Rakha dan selamat hari pernikahan untuk mereka, tentunya dengan harapan mereka tidak hanya datang berdua, tapi bertiga, bersama seorang malaikat kecil.

Penulis: Anggita Aprilia Sari
Editor: Noval Irmawan

Sabtu, 15 April 2017

[Cerpen] Eiffel in Memories

[Cerpen] Eiffel in Memories

Cerpen - Ada yang selalu menyebalkan setiap kali kita harus berucap “sampai jumpa lagi”, kemudian saling melambaikan tangan, menghirup sisa-sisa parfum yang masih melekat di rambut hidung. Menghitung hari yang begitu terasa berat dilalui.

“Kita bisa melalui ini, semua akan baik-baik saja, Vela.”

Tiga tahun kita memang bisa melalui ini, dan benar katanya, semuanya akan baik-baik saja. Tapi, bagaimana untuk dua tahun ke depan? masih seperti itukah? Kali ini kita tidak hanya berbeda kota, tapi berbeda benua, terpisah beribu-ribu mil jauhnya. Aku sangat menghargai dan mencoba mengerti betapa berharganya kesempatan itu baginya, menuntut ilmu di Prancis.

“Vela, nanti sepulang dari sana, aku akan jadi arsitek hebat. Aku akan membuatkan rumah untukmu. Lengkap dengan menara Eiffel buatan tanganku.” Itu adalah satu-satunya janji yang pernah dia ucapkan. Dan, aku percaya, dia akan menepatinya.

***

“Vela, ada telfon dari distributor bunga di Bandung,” Cika memberikan gagang telfon kepadaku. Kemudian menggantikanku menata bunga.

“Halo,” sapaku.

“Iya halo, ini dengan pemilik Vela Florish?”

“Iya benar.”

“Emh, begini, mohon maaf, bunga mawar putihnya sedang kosong.”

“Tapi bunga lain yang saya pesan ada kan?”

“Ada, nanti sore akan dikirim.”

“Oke. Terimakasih.”

Telfon terputus, aku menghampiri Cika yang sedang menata bunga. Tokoku baru saja dibuka sebulan yang lalu, masih terbilang baru. Pengunjungnya juga belum terlalu ramai. Pegawai pun aku belum punya, hanya Cika saja, sahabatku yang sama-sama suka bunga. Dia banyak membantuku. Saat ditanya kenapa tidak membuka florish sendiri, jawabannya adalah, “Papa Mamaku nggak suka. Mereka maunya aku meneruskan bisnis properti mereka.”

Beruntung, kedua orang tuaku terbilang demokratis. Apapun keinginanku, asalkan itu baik, mereka memperbolehkan, termasuk membuka usaha florish.

“Apa kabar Evan, Vel?” tanya Cika di sela kesibukan kami.

“Baik. Tapi udah seminggu nggak ada kabar. Mungkin dia sibuk.”

Enam bulan yang lalu, dia rutin mengabari, kami saling bertukar foto dan video. Dia mengirimkan foto menara Eiffel di malam hari, sangat indah. Evan bilang, dia sering berkunjung ke menara Eiffel dan berharap bisa menikmati keindahannnya bersamaku. Beberapa kali dia juga pernah mengirimkan foto bersama teman kuliahnya dari Indonesia. Tapi seminggu belakangan ini, sama sekali tidak ada kabar darinya. Telfonku tidak pernah dijawab, begitu juga dengan pesan dan email. Dia tidak muncul di sosial medianya. Padahal biasanya Evan mengunggah foto atau status. Aku mulai resah, takut. takut jika akhirnya aku dan dia kalah oleh rindu dan jarak yang memisahkan kami, takut jika akhirnya dia bertemu dengan orang lain. Takut jika salah satu dari kami memilih menyerah.

Aku mencoba bersabar dan menjejali otakku dengan pikiran-pikiran yang positif tentang Evan. Seminggu, dua minggu, tiga minggu, sebulan, ah aku tidak bisa menahan untuk tidak menghubunginya terlebih dahulu. Malam itu, aku menelfonnya. Dua kali tidak ada jawaban, dan yang ketiga kalinya, dia menjawab telfon ketika aku hampir saja memutuskannya.

“Halo, Vela sayang. Maaf aku sangat sibuk selama sebulan ini. aku harap kamu nggak marah.”

Aku terdiam, memejamkan mata sambil memegang erat ponsel di tangan, akhirnya aku masih bisa mendengar suarnya lagi, mendengar dia memanggilku sayang.

“Halo. Sayang please, forgive me.”

Aku menghela nafas,” Nggak apa-apa. Aku nggak marah.”

Sejak malam itu, komunikasiku dengan Evan kembali seperti biasanya. Dia banyak bercerita tentang kuliahnya, juga menanyakan perkembangan usaha florishku. Dia bilang, aku harus mengganti namanya menjadi Evela Florish, Evela adalah singkatan dari namaku dan namanya.

***

Genap dua tahun jarak memisahkan aku dan Evan, dan hari ini Evan akan pulang ke Indonesia. Rinduku kepadanya juga akan genap terlunasi. Aku menjemputnya di bandara, dia pulang bersama sesama teman mahasiswanya, perempuan. Wajahnya tidak asing lagi, aku pernah melihatnya di foto-foto yang Evan kirimkan. Evan memperkenalkanku dengannya, dia bernama Mayta.

Sepanjang perjalanan dari bandara ke restoran, aku dan Mayta banyak bertukar cerita. Dia perempuan yang cerdas, cantik, dan ramah. Kehangatan dan keakraban begitu terasa diantara kami bertiga saat terlibat dalam obrolan di restoran. Tampaknya aku akan mendapatkan sahabat baru, Mayta.

“Aku juga suka bunga loh, Vel.”

“Oh ya? Pokoknya kamu wajib main ke florishku. Nanti aku kenalin sama sahabatku, namanya Cika. Dia juga suka bunga.”

“Boleh juga tuh.”

“Oke, ladies. Makanannya udah datang. Waktunya makan.” Evan menyela pembicaraan kami.

Tiba-tiba Mayta muntah setelah memakan beberapa suap makanannya.

“May, are you oke?” tanyaku panik. Evan juga ikut panik.

Mayta hanya mengangguk. Evan kemudian memanggil petugas kebersihan untuk membersihkan lantai.

“May, kamu masuk angin? Atau nggak biasa makan makanan Indonesia?” tanyaku.

Mayta tertawa kecil, “Aku Cuma masuk angin, kok.”

***

Seminggu setelah kepulangan Evan, dia mengajakku pergi ke suatu tempat. Dia menjemputku pukul tujuh malam, kemudian memintaku untuk bersedia matanya di tutup dengan kain berwarna merah.

“Sampai.” Evan menuntunku keluar dari mobil. perlahan dia membuka penutup mataku.

“Kejutan!” serunya.

Aku tertegun melihat apa yang ada di depanku. Sebuah rumah bergaya Eropa, lengkap dnegan miniatur menara Eifel di halaman depannya.

“Evan, kamu..”

“Aku tepatin janjiku dua tahun yang lalu, kan?”

Aku memeluk Evan, “Thank you very much.”

“You’re welcome.”

“Jadi, kapan kita nikah?”

Evan mengendurkan pelukannya, kemudian menatapku, “Itu yang mau aku omongin sama kamu sekarang, Vel.”

Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum, “Ngomongin pernikahan di sini?”

“di dalam, sekalian kamu bisa lihat-lihat rumahnya.”

Aku dan Evan masuk. setelah dirasa cukup melihat-lihat seisi rumah, kami duduk berhadapan di ruang tamu.

“Van, gimana kalau pernikahan kita di rumah ini aja. Nggak usah sewa gedung. Terus nanti pelaminannya di dekat minatur menara eiffel. Keren kan?”

“Iya keren, keren.”

“Emh, kamu mau tema pernikahannya apa?”

“Vela,”

“Oh iya, hampir lupa. Kamu kan arsitek, gimana kalau nanti ada miniatur lainnya.. emh, miniatur apa yah? apa aja deh, terserah kamu. gimana? Kamu bisa kan bikinya?”

“Vela, cukup. Aku nggak bisa!”

Aku terkejut dengan ucapan Evan. Seketika aku diam, kemudian menatapnya yang menunduk sambil memegangi keningnya.

“Evan, it’s ok kalau kamu nggak bisa bikin miniatur.” Ucapku lirih.

“Lebih dari nggak bisa bikin miniatur, Vel.”

“Maksud kamu?”

“Aku nggak bisa mewujudkan semua yang kamu bilang tentang pernikahan kita.”

“Why?”

Evan diam, menghela nafas, meremas rambutnya, bibirnya seolah gemetar untuk bicara, “Mayta hamil. Dan, aku adalah ayah dari anak yang ada di rahimnya.”

Ada yang menghantam hatiku dengan sangat keras. Dadaku terasa sesak, lidahku kelu, dan mataku mulai terasa perih menahan butiran bening yang memaksa meleleh.

“Apa salahku, Evan? Kamu tega lakuin semua ini.” tanyaku dengan suara parau.

“Kamu nggak salah, Vel. Aku yang salah. Aku khilaf. Waktu itu aku dan Mayta...”

“Cukup! Apapun penjelasan kamu, nggak akan bisa mengubah keadaan. Faktanya sekarang adalah Mayta hamil dan kamu adalah Ayah dari bayi di rahimnya. Dan aku, harus bisa menerima ini semua, merelakan kamu menikahi Mayta. Itu kan yang kamu mau!?”

“Vela, please, listen me..”

“Enough, Evan. I’ll go. Happy Wedding, and thank you for everything”

***

Di sinilah sekarang aku berdiri, Champ de Mars, 5 Avenue Anatole France, 75007 Paris, France, sambil menatap foto Evan yang berlatar menara Eiffel. Itu adalah satu-satunya foto yang masih kusisakan. Aku mendongak, menatap menara setinggi 984 ft yang dihiasi kerlap-kerlip lampu. Indah, tapi bukan dia tujuanku. Setelah menghapus foto Evan dan mengucapkan salam untuk Eiffel, aku pergi, mencari tujuanku, dan untuk berani jatuh cinta lagi.

Penulis: Anggita AS
Editor: Noval Irmawan

9 Cara Mengatasi Notifikasi HP Android Tidak Muncul Di Layar Utama

Notifikasi HP Tidak Muncul - Bagaimana cara mengatasi pemberitahuan aplikasi yang tidak bisa muncul di layar kunci hp android ? Pada dasarn...